PEKANBARU | Seorang wanita warga negara Indonesia (WNI), Ny. Eka Octaviani, meminta aparat Kepolisian Resort Kota (Polresta) Pekanbaru untuk segera memproses laporan pengaduannya terkait dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan penelantaran yang dilakukan oleh suaminya, seorang Warga Negara Asing (WNA) berinisial AB.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ny. Eka dalam konferensi pers yang digelar di sebuah kafe di Jalan Arifin Ahmad, Kota Pekanbaru, pada Jumat (11/7/2025). Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikis yang dialaminya sejak awal pernikahan mereka pada Februari 2018.
“Saya telah melaporkan tindakan kekerasan dan penelantaran ini ke Polresta Pekanbaru, tertuang dalam Surat Tanda Penerimaan Laporan Pengaduan Nomor: SPLP/436/VI/2025/Polresta Pekanbaru tertanggal 20 Juni 2025 pukul 11.45 WIB,” ujar Eka.
Menurutnya, sejak awal pernikahan, AB sering melakukan kekerasan fisik. Bahkan, dalam sebuah insiden pada tahun 2019 di salah satu hotel mewah di Jakarta, Eka mengaku ditampar, dipukul, dan dijambak oleh suaminya. Beruntung, pihak hotel saat itu sigap membantu dan menyelamatkannya.
Lebih memilukan lagi, Eka mengatakan baru mengetahui bahwa suaminya ternyata pernah menikah dengan perempuan asal Filipina yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. “Saya merasa sangat tertipu,” kata Eka.
Puncaknya terjadi pada tahun 2022, ketika Eka mengalami kekerasan serius hingga menyebabkan tangan kanannya patah. Ia harus menjalani operasi dan perawatan intensif di rumah sakit selama hampir satu bulan.
“Ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tapi juga psikis. Saya bertahan karena ingin mempertahankan rumah tangga, namun semuanya semakin buruk,” ungkapnya sambil menangis.
Kondisi semakin rumit ketika pada Juli 2024, Eka mengetahui bahwa AB secara diam-diam menikahi seorang wanita asal Bekasi berinisial KS. Pernikahan tersebut pun akhirnya kandas setelah AB menceraikan KS.
Sejak Januari 2024 hingga Juni 2025, Eka mengaku tidak lagi menerima nafkah lahir dan batin dari AB. “Kami sempat membuat kesepakatan di hadapan penyidik Polresta Pekanbaru, bahwa AB akan membayar kewajibannya sebesar Rp240 juta secara angsuran, masing-masing Rp40 juta per bulan dari November 2024 hingga Juni 2025,” jelasnya.
Namun hingga kini, laporan Eka belum menunjukkan perkembangan signifikan. Ia khawatir jika proses hukum tidak segera dilakukan, AB bisa dideportasi karena masa berlaku visanya akan habis pada 6 Agustus 2025.
“Kalau AB dideportasi sebelum proses hukum selesai, saya khawatir dia lolos dari tanggung jawab atas perbuatan yang sudah dilakukan,” tegas Eka.
Ia berharap pihak Kepolisian bertindak cepat dan tegas dalam menangani kasus ini, demi keadilan dan keselamatan korban.
(Tim)
Bersambung...